Senin, 09 Januari 2017

Serat Pedhalangan Ringit Purwa 2




SERAT PADHALANGAN
RINGGIT PURWA
II
Oleh
K.G.P.A.A. Mangkunagara VII
Alih aksara dan ringkasan oleh .
Mulyono Sastronaryatmo
Diterbikan kembali seijin PN Balai Pustaka
BP No. 443a
Hak Pengarang dilindungi Undang-Undang
 ———————————————————————————–
 KATA PENGANTAR
Bahagialah kita, bangsa Indonesia, bahwa hampir di setiap daerah di seluruh tanah-air hingga kini masih tersimpan karyakarya sastra lama, yang pada hakekatnya adalah cagar budaya nasional kita. Kesemuanya itu merupakan tuangan pengalaman jiwa bangsa yang dapat dijadikan sumber penelitian bagi pembinaan dan pengembangan kebudayaan dan ilmu di segala bidang.
Karya sastra lama akan dapat memberikan khasanah ilmu pengetahuan yang beraneka macam ragamnya. Dan penggalian karya sastra lama, yang tersebar di daerah-daerah ini, akan menghasilkan ciri-ciri khas kebudayaan daerah, yang meliputi pulaspandangan hidup serta landasan falsafah yang mulia dan tinggi nilainya. Modal semacam itu, yang tersimpan dalam karya-karya sastra daerah, akhirnya akan dapat juga menunjang kekayaan sastra Indonesia pada umumnya.
Pemeliharaan, pembinaan dan penggalian sastra daerah jelas akan besar sekali bantuannya dalam usaha kita untuk membina kebudayaan nasional pada umumnya, dan pengarahan pendidikan pada khususnya.
Saling pengertian antar daerah, yang sangat besar artinya bagi pemeliharaan kerukunan hidup antar suku dan agama, akan dapat tercipta pula, bila sastra-sastra daerah, yang termuat dalam karyakarya sastra lama itu, diterjemahkan atau diungkapkan dalam bahasa Indonesia. Dalam taraf pembangunan bangsa dewasa ini manusia-manusia Indonesia sungguh memerlukan sekali warisan rohaniah yang terkandung dalam sastra-sastra daerah tersebut. Kita yakin bahwa segala sesuatunya yang dapat tergali dari dalamnya tidak hanya akan berguna bagi daerah yang bersangkutan saja, melainkan juga akan dapat bermanfaat bagi seluruh bangsa Indonesia, bahkan lebih dari itu, ia akan dapat menjelma menjadi sumbangan yang khas sifatnya bagi pengembangan sastra Dunia.
Sejalan dan seirama dengan pertimbangan tersebut di atas kami sajikan pada kesempatan ini suatu karya sastra Daerah Jawa yang berasal dari Balai Pustaka, dengan harapan semoga dapat menjadi pengisi dan pelengkap dalam usaha menciptakan minat baca dan apresiasi masyarakat kita terhadap karya sastra, yang masih dirasa sangat terbatas.
Jakarta, 1978
Proyek Penerbitan
Buku Bacaan dan Sastra
Indonesia dan Daerah
  ————————————————————————-
DAFTAR ISI
Halaman
Ringkasan 9
  1. Lampahan Srimahapunggung (Srisadana) 15
  2. Lampahan Bathari Sri Mantuk 23
  3. Lampahan Purwakala (Murwakala) 33
 RINGKASAN
  1. Srimahapunggung (Srisadana) 
Raden Sadana, di dhukuh Medhangagung, dengan dihadap oleh pengasuhnya : kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, dan kyai Wayungyang, sedang menerima kedatangan kakandanya, Dewi Sri. Berkatalah Dewi Sri, “Duhai, dinda Srisadana, istana Medhangkamulan kutinggalkan, sebab ayahanda Srimahapunggung murka kepadaku, karena menolak kehendak beliau akan mengawinkan aku dengan prabu Pulagra dari kerajaan Medhangkumuwung. Memang sudah menjadi tekadku, tidak akan melayani priya, jika sekiranya tidak sebanding dengan keadaan dinda sendiri”. Seianjutnya juga diberitahukan bahwa prajurit-prajurit dari Medhangkumuwung masih mengejarnya, untuk itu kepada Srisadana diperintahkan untuk bersiap-siap menghadapinya. Musuh yang mengejar Dewi Sri, sesampai di dhukuh Medhangagung, dapat dialahkan oleh Raden Sadana. Dewi Sri juga menyetujui kehendak adiknya untuk bertempat tinggal di hutan Medhangagung. Untuk itu Raden Sadana perlu pergi menemui buyut Sondang di dhukuh Medhanggowong. Pergilah Raden Srisadana diikuti oleh ketiga abdinya, kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, dan kyai Wayungyang.
Sesampainya di dhukuh Medhanggowong, pesan Dewi Sri disampaikan kepada buyut Sondhang. Ki buyut diharap datang di Medhangagung dengan membawa bekal benih palawija, bibit kelapa, lombok dan terong. Kepada buyut Sondhang, Raden Sadana mengatakan akan melanjutkan perjalanannya menuju ke Medhangtamtu, ke tempat kyai buyut Wangkeng.
Setelah siap semuanya buyut Sondhang berangkat dengan isteri dan segenap buyut-buyut Medhanggpwong, menuju ke Medhangagung.
Dewi Sri menerima kedatangan raden Sadana, yang melaporkan tugas untuk membebaskan ki Wangkeng telah diselesaikan. Buyut Wangkeng dan isterinya pun telah bersama-sama menghadap sang Dewi Sri. Juga buyut Sondhang, isterinya, dan lain-lainnya telah berada di Medhangagung. Para prajurit yang dikalahkan oleh raden Sadana kembali lagi di bawah pimpinan rajanya sendiri, ialah prabu Pulagra. Buyut Wangkeng, buyut Sondhang, dan semua warga dhukuh Medhangagung berusaha mengalahkannya, perang terjadi sangat ramainya. Hyang Narada, memerintahkan kepada hyang Bayu untuk membunuh prabu Pulagra, Terbunuhlah raja Medhangkumuwung. Kepada Dewi Sri, hyang Narada bersabda, “Hai, puteraku Dewi Sri, atas kehendak Hyang Girinata, jika kau menyetujuinya, maukah kau dikawinkan dengan adikmu raden Sadana ?’ Oleh Dewi Sri saran hyang Narada tersebut dengan rendah hati ditolak. Kembalilah para dewa ke kahyangan, bersukacitalah Dewi Sri. 
  1. Bathari Sri Mantak 
Syahdan beberapa negara dilanda malapetaka. Dewa bersabda kepada para raja negara-negara yang tertirnpa kenestapaan bahwa mereka akan dapat terhindar dari bahaya dan menjadi subur rnakmur negaranya, jika dapat membawa bathari Sri. Banyak usaha yang dilakukan oleh mereka. Berkatalah prabu Matswapati kepada para putra, “Hai Seta, Wratsangka, dan Untara, pergilah kalian sekarang juga ke negara Astina. Sampaikanlah permintaanku, agar prabu Kresnadipayana berkenan untuk datang ke Wiratha. Itulah sabda dewa kepadaku, dan jangan lupa membawa Dewi Sri ke Wiratha. Usahakan, jangan sampai tak terlaksana”. Berangkatlah ketiga putra prabu Matswapati ke Astina. Di negara Astina, prabu Kresnadipayana menerima ketiga putra Wiratha. Datang juga di Astina resi Nagatatmala, putra sang Hyang Anantaboga, dari Saptapratala. Berkatalah prabu Kresnadipayana, “Wahai adinda Seta, Wratsangka dan Untara, sampaikanlah pesanku kepada raja Wiratha, segala permintaannya kusanggupi”. Segera baliklah ketiga putra prabu Matswapati ke Wiratha. Adapun resi Nagatatmala dipesan oleh prabu Kresnadipayana, “Hendaknya kau putraku Nagatatmala, mencari Dewi Sri, dan sesudah kaudapati bawalah dia ke negara Wiratha. Aku akan menemui ayahandamu di Saptapratala”. Resi Nagatatmala mundur untuk mencari Dewi Sri, diiringkan oleh ketiga abdinya, Semar, Nalagareng dan Petruk. Pratalaretna, dengan rajanya prabu Darmasara sedang dirundung malang, karena kehadiran Dewi Sri di negara tersebut mengundang kerumitan masalah. Banyak raja yang melamar Dewi Sri. Kalau ditolak, tak lain ancaman yang datang. Pada suatu hari, berkumpullah prabu Darmasara, dengan istrinya, Dewi Darmawati, dan putranya, Dewi Darmarini, serta Dewi Sri. Mereka sedang menerima kedatangan resi Nagatatmala, yang akan memboyong Dewi Sri ke negara Wiratha. Dewi Sri tak berkeberatan untuk diboyong ke negara Wiratha, hanya ada satu permintaannya. Resi Nagatatmala diharap untuk menyampaikan permintaannya tersebut kepada Raden Sadana. Berangkatlah resi Nagatatmala menemui Raden Sadana, segala permintaannya diceritakan, namun oleh Raden Sadana ditolak, sehingga terjadilah perang. Raden Sadana dapat dikalahkan oleh resi Nagatatmala. Kepada Dewi Sri, segala hal ihwal diceritakan, akhirnya resi Nagatatmala diambil putra oleh Dewi Sri. Dewi Darmarini juga diambil putra, keduanya lalu dikawinkan. Bersuka citalah sang prabu Darmasara beserta istri, apalagi musuh yang mengancam negara Pratalaretna sudah dapat dialahkan oleh patih Jayalegawa.
Dewi Sri, dengan diiringi oleh raja Pratalaretna beserta istri berangkat ke negara Wiratha. Resi Nagatatmala melanjutkan perjalanannya ke Astina, untuk memboyong prabu Kresnadipayana.
Di negara Wiratha, prabu Matswapati menerima banyak tamu : Dewi Sri beserta prabu Darmasara dan istrinya, Dewi Darmarini istri resi Nagatatmala, prabu Kresnadipayana, dan juga resi Kanekaputra, yang diutus oleh hyang Girinata. Para putra pun telah menghadap raja.
Berkatalah hyang Narada, “Kaki prabu Matswapati, bahagialah anda beserta seluruh warga negara Wiratha, Dewi Sri telah berada di Wiratha, aku datang kemari, tak lain hanya akan membawa resi Nagatatmala ke kahyangan. Musuh telah mengancam ketenteraman Suralaya. Raja Guwarejeng, prabu Suryakumala, memaksakan diri meminta bidadari Dewi Warsini, untuk diperistri. Hyang Guru tak mengizinkannya”. Sang prabu Matswapati sangat bersuka hati dapat membantu para dewa, direlakanlah resi Nagatatmala ke kahyangan beserita resi Narada, dan Hyang Bayu.
Sepeninggal para dewa, laporan masuk ke istana Wiratha, musuh menyerang. Oleh sang raja diperintahkan segala prajurit menghadapinya. Ternyata prajurit dari negara Guwarejeng tumpas habis, prabu Suryakumala dan Sasradewa mati oleh prabu Kresnadipayana. Sisa prajurit dari Guwarejeng yang masih hidup melarikan diri. Bersukacitalah seluruh istana Wiratha merayakan kemenangan.
  1. Purwakala (Murwakala)
Syahdan bathara Kala merasa tidak puas dengan makanan yang telah diberikan oleh bathara Guru, ialah “lobang-lojo”; lalu mendapat ganti jenis-jenis makanan yang harus disertai diruwat terlebih dahulu, sebanyak 14 macam dan yang tidak disertai diruwat, 8 macam, ialah : 1. Ontang-anting, anak lelaki tunggal, tak bersaudara; 2. Untanganting, anak perempuan tunggal, tak bersaudara; 3. Lumunting, anak yang kelahirannya tanpa ari-ari; 4. Sarimpi, perempuan bersaudara 4 jumlahnya; 5. Saramba, laki-laki bersaudara 4 jumlahnya; 6. Pandhawa, laki-laki bersaudara 5 jumlahnya; 7. Pandhawi, wanita bersaudara 5 jumlahnya; 8. Pandhawa madhangake, lima bersaudara, 4 laki-laki 1 wanita; 9. Pandhawa ipil-ipil, lima bersaudara, perempuan 4, 1 lakilaki; 10. Uger-uger, 2 bersaudara, laki-laki kesemuanya; 11. Kembang sepasang, 2 bersaudara, wanita kesemuanya; 12. Gedhana-gedhini, 2 bersaudara laki-perempuan (lelaki yang tertua); 13. Gedhini-gedhana, 2 bersaudara perempuan-lelaki (perempuan yang tertua); 14. Sendhang angapit pancuran, 3 bersaudara, wanita 2, laki-laki 1 ditengah. Yang tidak disertai diruwat ialah : 1. Jisim lalampah, manusia yang bepergian seorang diri; 2. Bathang ucap-ucap, manusia yang bepergian berdua saja dalam jarak jauh; 3. Gotong mayit; 3 orang bepergian jarak jauh; 4. Orang yang berjalan diwaktu matahari ada di tengahtengah benar; 5. Orang yang merebahkan dandang; 6. Orang yang memecahkan gandhik; 7. Orang yang memecahkan pipisan (alas untuk melumatkan bahan-bahan jamu); 8. Orang yang sedang membangun rumah, dan belum ditempati rumah tersebut sudah roboh. Lajulah Hyang Kala memohon diri, untuk segera mencari mangsanya ke telaga  adirda. Sepeninggal Kala, bathara Guru merasa kesal hatinya, mengingat terlalu banyak jenis-jenis makanan yang diizinkan untuk dimangsa bathara Kala, lalu segera memerintahkan kepada Hyang Narada, untuk memberitakan kepada Hyang Wisnu, supaya mencabut kembali jenis-jenis makanan yang telah direlakan untuk dimakan bathara Kala. Dengan sarana Hyang Wisnu sebagai dhalang, Brama menjadi penabuh gender, dan Hyang Narada menjadi panjak (penabuh gamelan), mereka menuju ke dhukuh Dhadhapan.
Hyang Kala yang sedang berada di talaga Madirda bertemu dengan Hyang Guru, dan diberitahu pula, “Hai Kala, jenis-jenis makanan yang diperuntukkan bagimu harus kau beri tanda dengan badhama. Jika tidak kauberi tanda kuanggap sebagai anak dewa, dan lagi pula, jika kau bertemu dengan seseorang yang dapat menguraikan keadaan jasmaniahmu, akuilah dia sebagai ayahmu”. Segala perintah Guru akan diturut oleh Bathara Kala, dan segera pergilah hyang Guru.
Tersebutlah kyai buyut Wangkeng, dari dukuh Medhangkamulan, yang mempunyai anak perempuan, bernama Rara Pripen. Suaminya bernama  buyut Kaduwal. Kepada buyut Wangkeng Rara Pripen minta, agar diceraikan dari suaminya. Tetapi setelah dijelaskan oleh bapaknya, Rara Pripen menurut, dengan syarat dapat didatangkan pertunjukan wayang kulit. Buyut Kaduwal diperintahkan oleh mertuanya untuk pergi ke dukuh Dhadhapan, mencari dalang.
Di Dhadhapan, dalang Kandhabuwana yang tak lain hyang Wisnu, menerima kedatangan buyut Kaduwal. Adapun maksud dan tujuannya telah dipahami, Kandhabuwana bersedia untuk meruwat Rara Pripen dan dukuh Medhangkamulan, yang diserang oleh binatang buas dari hutan di dekatnya.
Setelah bermacam-macam sasaji diadakan, dengan mengambil cerita Manikmaya, Kandhabuwana memulai pertunjukannya. Banyak penduduk dukuh Medhangkamulan yang menontonnya, di antaranya terlihat juga bathara Kala. Juga Jatusmati, anak tunggal janda Sumawit dari dukuh Medhangkawit, yang telah melarikan diri dari talaga Madirda dari kejaran bathara Kala.
Setelah Hyang Wisnu mengetahui bathara Kala juga hadir, diuraikanlah terjadinya badan bathara Kala, sesuai dengan petunjuk Hyang Guru. Karena itu Kala mengakui Kandhabuwana sebagai bapak. Berkatalah dalang Kandhabuwana, “Hai, Kala sekarang enyahlah jangan kau ganggu ketenteraman daerah ini”. Selanjutnya Hyang Wisnu juga mengatakan bahwa ia diutus oleh Hyang Guru untuk meminta kembali jenis-jenis makanan yang telah diizinkan kepada Kala untuk menjadi mangsanya. Menyadari akan perintah Hyang Guru, Kala menurutnya, tetapi sebelum kepergiannya minta dipermandikan terlebih dahulu. Dalang Kandhabuwana memandikannya, dengan air taman sesaji, dan pergilah Kala dengan istri dan prajuritprajuritnya setelah masing-masing juga diberi sajen-sajen ruwatan. Demikian pula Rara Pripen. Untuk menghindarkan dari malapetaka, ia dimandikan dahulu. Jatusmati juga telah diruwat oleh Kandhabuwana, demikian pula bayi sampir, yang lahir pada waktu pertunjukan wayang tersebut diselenggarakan. Terhindar juga dari mangsa bathara Kala. Tentramlah dukuh Mendhangkamulan, Setelah diadakan pertunjukan wayang kulit oleh dalang Kandhabuwana, teruwatlah malapetaka. 
  1. LAMPAHAN SRIMAHAPUNGGUNG (SRISADANA)
  1. Jejer prabu Srimahapunggung, nata ing Medhangkamulan, nuju miyos ing sitinggil binatarata. Ingkang mungging ngarsa patih Jakapuring, punggawa kyai Andongdhadhapan. Ingkang rinembag icalipun ingkang putra kakung nama raden Sadana. Aturing patih sampun nyebar para wadya, angupaya boten pinanggih. Kasaru gegering jawi, wonten caraka warni ditya saking nagari Medhangkumuwung, nama ditya Kaladaru, lajeng kerid mangarsa, caraka dinangu : Dinuta ratunira nama prabu Pulagra, ngaturaken pustaka. Sareng sampun tinampen, binuka sinuksmeng jaja. Suraosing pustaka, anyuwun jodho ingkang putra Dewi Sri. Caraka kinen anganti wangsulan wonten ing jawi, caraka medal, srinata kondur ngadhaton.
  1. Madeg ing kadhaton, prameswari nata titiga nama Dewi Gemi, Dewi Nastiti, Dewi Subur, ingkang putra patutan saking Dewi Gemi nama Dewi Sri, sami angentosi konduripun srinata. Dereng dangu rawuhing nata, lajeng lenggah satata, ngandikan bab wontenipun ing pancaniti, bilih wonten caraka saking nagari Medhangkumuwung, dutanira prabu Pulagra, anglamar Dewi Sri. Dewi Sri tinantun krama angsal nata raseksa nama prabu Pulagra, aturipun boten purun. Dewi Sri matur purun laki, bilih angsal jodho ingkang warninipun kados ingkang rayi raden Sadana. Ingkang rama langkung duka, Dewi Sri tinari wanti-wanti datan purun, lajeng tinundhung kesah, medal ing kori bubutulan, kadya kinuncang ing dewa, lampahira anjog ing sajawining kitha. Sang nata lajeng animbali patih Jakapuring, kadhawuhan mangsuli caraka saking Medhangkumuwung, paring priksa : Dewi Sri musna saking kadhaton, kadhawuhan angupaya, bilih pinanggih kadhawuhan ngaturaken ing ratunipun, lajeng bibaran.
  1. Madeg ing paseban jawi, patih Jakapuring, punggawa kyai Andongdhadhapan, caraka ing Medhangkumuwung ditya Kaladaru. Patih Jakapuring andhawuhaken timbalanira sang nata, lamun Dewi Sri musna saking kadhaton. Caraka kinen ngupaya, lamun pinanggih kaaturna ing ratunipun, lajeng kagarwaa. Aturipun caraka sandika, lajeng bidhal ngupaya kesahipun Dewi Sri.
  1. Madeg padhukuhan ing Medhangtamtu, kyai buyut Wangkeng lawan somahira, sami gineman : Amepe pantunipun, sareng wanci siyang lajeng sami kapulung (dipun pendheti saking memeyan), kasaru dhatengipun Dewi Sri, sarta dipun aturi inalebet ing griya. Dewi Sri dhawuh kinen ngresiki. Sasampuning resik, Dewi Sri lajeng malebet ing griya, mundhut degan, lajeng kaunjuk toyanipun, Dewi Sri angandikakaken sadaya lalampahanipun, lamun tinundhung ingkang rama, awit lenggana kadhawuhan nglampahi krama antuk ratuning ditya. Dereng dangu, dhatengipun ditya Kaladaru saprikancanipun, kyai buyut Wangkeng amangsulaken dalah kulawarganipun. Kaladaru meksa, dadya prang rame, kyai buyut cinekel lajeng cinancang witing nangka. Para sanakipun sami bibar, Dewi Sri lajeng kesah, Kaladaru saprikancanipun raseksa anututi.
  1. Madeg ing kahyangan Jonggringsalaka, sang Hyang bathara Guru nuju miyos ing bale Marcukundha. Ingkang mungging ngarsa sang resi Kanekaputra (Narada), sang hyang Bayu, sang hyang Panyarikan, sang hyang Kuwera. Sang hyang Guru andangu gonjinging Suralaya. Aturipun sang Hyang Narada, bilih wonten titahing dewa nandhang prihatin, inggih punika Dewi Sri tinundhung kesah ingkang rama prabu Srimahapunggung. Sang Hyang Guru lajeng dhawuh dhateng resi Narada kinen tumurun anedahna dununging raden Sadana, Dewi Sri kinen ngupaya. Resi Kanekaputra sandika, lajeng pangkat. Dewi Sri lampahipun dumugi ing wana tarataban, sang hyang Narada tumurun andhawuhaken dhawuhira sang hyang Guru sadaya. Dewi Sri lajeng dhateng ing dhukuh Mendhangagung, sang Hyang Narada makahyangan.
  1. Madeg raden Sadana, aneng dhukuh Mendhangagung, den adhep parepat tiga : kyai buyut Tuwa, kyai empu Cukat, kyai Wayung-yang. Repat tiga angaturi kondur ing bendaranipun, raden Sadana mboten purun mantuk, bilih ingkang mbok ayu dereng palakrama, awit kagalih mindhak makewedi. Dereng dangu, kasaru dhatengipun ingkang mbok ayu Dewi Sri, lajeng anangisi ingkang rayi raden Sadana. Sasampuning sami tata lenggah, nyariyosaken lalampahanipun duk tinundhung kesah ingkang rama, nanging lampahipun wau taksih kakodhol ing para danawa carakanipun prabu Pulagra. Ing ngriku raden Sadana sampun prayitna. Dereng dangu, mireng swarsa gumuruh, praptaning para danawa, raden Sadana inapagaken, prang rame. Para danawa sami pejah, ingkang alit-alit sami bibar mawur sar-saran ngungsi gesang. Patih Kaladaru jinemparing kabuncang.
    Sigeg raden Sadana kaliyan ingkang mbok ayu Dewi Sri, raden Sadana matur, bilih badhe dhudhukuh wonten ing wana Mendhangagung, Dewi Sri jumurung ing karsa, ingkang rayi kinen mundhut wiji cikal, jagung, lombok, terong dhateng dhukuh Mendhanggowong. Raden Sadana lajeng mangkat kaliyan parepat tiga.
  1. Madeg ing dhukuh Mendhanggowong, kyai buyut Sondang kaliyan semahipun. Kyai buyut Sondang anyrengeni dhateng semahipun, amargi yen kadhatengan raden Sadana sanget anggenipun angajiaji.Bojonipun amangsuli, rehning katamuwan gusti. Dereng dangu dhatengira raden Sadana kaliyan repatipun titiga. Raden Sadana ngandika, bilih kautus dhateng ingkang mbok ayu mundhut wiji palawija tuwin cikal, lombok, terong, awit karsa adhudhukuh ing wana Mendhangagung. Ki buyut Sondang katimbalan sarta kadhawuhan ambekta jaro saprikancanipun, buyut Sondang matur sandika, raden Sadana kaaturan rumiyin, buyut Sondang badhe nungka saprikancanipun saha badhe ambekta punapa ingkang dadya pamundhutipun ingkang mbok ayu. Raden Sadana lajeng wangsuljcaliyan parepatira titiga.
  1. Madeg Dewi Sri, dhatengipun ingkang rayi raden Sadana, matur kautus mundhut wiji palawija dalah jaro, kyai buyut Sondang sampun sandika. Dereng dangu dhatengipun kyai buyut Sondang, dalah semahipun, ambekta kanca kathah sami amikul jaro tuwin wiji palawija. Sasampuning sami ngaso, lajeng kadhawuhan tumandang pasang jaro, Raden Sadana kautus dhateng ing dhukuh Mendhangtamtu, kinen ngluwari kyai buyut Wangkeng ingkang dipun pusara ing danawa, sarta kinen nimbali dalah semahipun. Raden Sadana pangkat.
  2. Madeg ing nagari Mendhangkumuwung, prabu Kalapulagra lawan ingkang rayi Kalapulastha, para punggawa pepak anangkil, Palaciya, Cayasiya. Rembag : Angarsa-arsa patih Kaladaru, ingkang dinuta ngaturaken pustaka panglamar dhateng ing Medhangkamulan. Dereng dangu patih Kaladaru cumlorot saking gagana, lajeng sami lenggah satata. Patih Kaladaru matur sasolahira dinuta. Srinata langkung duka, lajeng dhawuh mepak para wadya. Sasampuning samapta, lajeng bidhal dhateng dhukuh Medhangagung.
  1. Madeg ing dhukuh Mendhangtamtu, kyai buyut Wangkeng, dipun tangisi semahipun badhe nguculi pusara boten saged, kasaru dhathengipun raden Sadana dalah parepatira titiga. Ki buyut Wangkeng dipun uculi saking pusara, lajeng linggih. Raden Sadana lajeng andhawuhaken dhawuhipun ingkang mbok ayu Dewi Sri, ki buyut katimbalan sasemahipun, matur sandika, lajeng kerid raden Sadana.
  2. Madeg ing dhukuh Mendhangagung, Dewi Sri, dhatengipun ingkang rayi raden Sadana ngirid kyai buyut Wangkeng sasemahipun dalah kulawarganipun sadaya. Dhawuhipun Dewi Sri, ki buyut Wangkeng sasemahipun kadhawuhan momong Dewi Sri wonten ing Mendhangagung. Dereng dangu anggenipun imbal wacana, kasaru praptaning prabu Pulagra sawadyanira. Ing ngriku para buyut sampun sami prayitna, madeg suraning driya, lajeng sami medal ambekta dadamel, dumugining jawi pakarangan sigra sami campuh prang rame.
  1. Madeg ing Jonggringsalaka, sang hyang Guru miyos mungging bale Marcukundha, ingkang munggeng ngarsa resi Narada, para jawata pepak Ginem : ing Suralaya gonjing saking sumuking paprangan, resi Narada tuwin bathara Bayu, bathara Kuwera sami kadhawuhan tutulung dhateng ing Mendhangagung, sarta resi Narada kadhawuhan nantun dhateng Dewi Sri : Punapa purun kadhaupaken angsal ingkang rayi raden Sadana pisan. Para dewa titiga sami matur sandika, lajeng pangkat. Sadumugining paprangan, sang hyang Bayu anawung ing yuda, prabu Pulagra sawadyanipun sami sirna sadaya, sang hyang Narada lajeng lenggah tuwin para bathara ngkang mentas sami unggul ing yuda. Dewi Sri tuwin raden Sadana marek ing ngarsa, dhinawuhan mating sang hyang Narada, Dewi Sri tinantun dhaup lawan ingkang rayi raden Sadana: matur lenggana. Para jawata lajeng pamit makahyangan, Dewi Sri tuwin ingkang rayi raden Sadana dalah para buyut, bojana kasukan.
  1. LAMPAHAN BATHARI SRI MANTUK 
  1. Jejer ing nagari Wiratha, prabu Matswapati miyos ing pancaniti, ingkang sumiwi putra Raden Seta, Raden Untara, Raden Wratsangka, tuwin patih Jayanirmala. Ginem : Sang nata angsal wangsiting dewa, lamun arsa waluya prajanira, denya kenging cintaka, kinen angupaya bathari Sri. Raden Seta lajeng ingutus nyuwun pitulung mring kang raka prabu Kresnadipayana, Astina. Sasampuning dhawuh, sang nata lajeng ngadhaton.
  1. Madeg ing gupit Mandragini, sang padniwara Dewi Rekathawati, pinarak ing pananggap prabasuyasa, ingadhep ingkang putra Dewi Untari, tuwin para parekan cethi. Ginem : Angajeng-ajeng sang nata, kasaru kondurira sang prabu, pinethuk ing garwa miwah putra, kinanthi binekta lenggah satata. Sang nata imbal wacana mring garwa, awit dangu denira mancaniti, saking wangsiting dewa, kinen angupaya bathari Sri. Punika kang dados waluyaning praja Wiratha. Sang nata sampun utusan para putra mring praja Astina, mundhut pitulung ingkang raka prabu Kresnadipayana, ingaturar. angupaya. Sasampuning ngandikan, sang nata lajeng tindak ing sanggar pamelengan.
  2. Madeg ing paseban jawi Raden Seta, Raden Untara, Raden Wratsangka, patih Jayanirbita, tuwin patih Jayanirmala. Ginem : Kasidaning lampah ingutus dhumateng praja Astina, sampun siyaga, lajeng bidhal kapalan.
  1. Madeg ing nagari Guwarejeng, prabu Suryakumala miyos ingadhep patih Baudhendha, tuwin para punggawa pepak kang anangkil. Ginem : Sang nata angsal wangsiting jawata, sinten ingkang kanggenan bathari Sri, punika prajanipun waluya. Kasaru sowanipun ingkang rayi prabu Sasradewa, ing nagari Guwapitu, kadherekaken para wadyanira. Sasampuning bagya-binagya, lajeng lenggah satata, kang rayi prabu Sasradewa atur uninga, bilih angsal wangsiting dewa, sinten ingkang kanggenan bathari Sri, prajanipun waluya, tuwin Dewi Sri sapunikanipun manggen wonten ing nagari Pratalaretna, ingkang ratunipun abibisik prabu Darmasara. Mila samangke prajanipun langkung kerta tur raharja, saha keringan saking mancapraja. Sang prabu Suryakumala, sareng mireng aturing kang rayi, lajeng nimbali punggawa raksasa, sasampuning mangarsa, dhinawuhan ngaturaken serat katur sang prabu Darmasara ing Pratalaretna, kinanthenan wadya ditya sagolongan. Punggawa yaksa ingkang tampi dhawuh lajeng medal ing jawi, sang nata lajeng ngadhaton.
  1. Madeg ing paseban njawi, para pungagwa ditya, Kalarudraksa, Kalakarumba, Kalakarendhi, sami rembag denira arsa dinuta ing nata. Sasampuning siyaga, lajeng bidhal dalah panekarira, kanthi kyai lurah Wijamantri, tuwin Tejamantri. Lampahira dumugi margi kapapag prajurit ing Wiratha, sulayaning rembag, dadya prang, wasana sami sisimpangan margi.
  1. Madeg ing Saptapratala, sang hyang Anantaboga ingadhep kang garwa Dewi Superti. Tuwin ingkang putra resi Nagatatmala kinen nimbali prabu Kresnadipayana ing Astina sawadya, trang dhawuhing Guru, kinen amapag parang-muka kang minggah ing Suralaya. Prabu Suryakumala, ing Guwarejeng, nyuwun jodho widadari, Dewi Warsini. Resi Nagatamala sandika, amit lajeng pangkat kairing Semar, Nalagareng, Petruk. Mangkana lampahira resi Nagatatmala, dumugi ing ngarcapada, kapapag punggawa ditya saking Guwarejeng, dadya prang, danawa pejah sadaya, jinemparing dening resi Nagatatmala, Wasana resi Nagatatmala lajeng lampahira ingiring repat tiga.
  1. Madeg ing nagari Guwarejeng, prabu Suryakumala miyos ingadhep ingkang rayi prabu Sasradewa tuwin patih Baudhendha, miwah para wadya ditya pepak kang anangkil. Ginem : Sang nata angarsaarsa caraka kang dinuta maring praja Pratalaretna, sampun dangu datan ana wangsul, kasaru dhatengipun punggawa ditya, atur uninga, bilih para punggawa raksasa kang dinuta, wonten ing margi pinejahan dening resi Nagatatmala. Sang nata kakalih, sareng mireng aturing punggawa ditya kang dinuta, saklangkung dukanira, lajeng dhawuh mring patih Baudhendha, kinen angundhangi para wadya balanira sadaya. Sang nata arsa ngrabaseng prang, saha kinen ambekta joli kinarya nglamar Dewi Warsini. Sasampuning samapta lajeng bidhal.
  1. Madeg ing nagari Astina, prabu Kresnadipayana, ingadhep patih Jayaprayitna, miwah para punggawa pepak kang anangkil. Ginem Sang nata kondur saking pagrogolan, datan dangu sowanipun ingkang putra ing kadipaten, raden Seta, raden Untara, raden Wratsangka, tuwin patih Jayanirmala. Kasaru sowanira resi Nagatatmala, ingiring parepatira tiga. Ginem : raden arya Seta matur ing raka prabu Kresnadipayana, bilih ingutus rama prabu Matswapati. Kang rama mundhut pialung sagedipun waluya prajanira, awit angsal wangsiting jawata linuwih, manawi bathari Sri kondur dhumateng ing Wiratha, punika saged waluya jati. Mila borong raka prabu Kresnadipayana. Sang nata anyagahi, Raden Arya Seta sawadyanira lajeng amit kondur maring ing Wiratha. Sapungkurira Raden Arya Seta, resi Nagatatmala matur, ingutus ingkang rama sang Hyang Anantaboga, paduka srinata tinimbalan maring Saptapratala, sampun trang saking dhawuhipun sang hyang Pramesthiguru, kinen mapag parangmuka kang minggah ing Suralaya. Nanging resi Nagatatmala kinen ngupaya bathari Sri, bilih sampun saged kapanggih, bathari Sri dhinawuhan kondur maring praja Wiratha. Resi Nagatatmala sandika, amit rinilan bidhal ingiring parepatira tiga. Sang nata kondur ngadhaton.
  1. Madeg ing nagari Pratalaretna, prabu Darmasara, miyos ingadhep patih Jayalegawa, tuwin para punggawa pepak kang anangkil. Ginem : Sang nata anggalih denira anampi nawala panglamar saking ratu sewu nagari, para nata mancapraja, sami nyuwun jodho Dewi Sri. Kasaru dhatengipun resi Nagatatmala, matur ingutus srinata ing Wiratha, nyuwun bathari Sri. Prabu Darmasara lajeng dhawuh mring patih Jayalegawa, kinen atata-tata ing jawi, patih matur sandika, resi Nagatatmala lajeng ingirid prabu Darmasara maring kadhaton.
  1. Madeg ing gupit Mandragini, sang bathari Sri, lenggah ingadhep para parekan. Ginem : Sang bathari Sri karsa kondur angajawi, kasaru sowanipun prabu Darmasara dalah garwa putra. Dewi Darmawati, tuwin Dewi Darmarini, kanthi ngirid resi Nagatatmala, matur ingutus prabu Matswapati ing Wiratha. Sang bathari Sri ingaturan, sampun sagah, namung resi Nagatatmala kapundhut putra, lajeng ngabekti, dhinawuhan matur maring raden Sadana. Resi Nagatatmala sandika, pangkat ingiring Semar, Nalagareng, Petruk.
  2. Madeg ing Pratalaretna, ing pungkuran, raden Sadana lagya lenggah, kasaru sowanira resi Nagatatmala, dinangu matur, ingutus srinata ing Wiratha, nyuwun bathari Sri, raden Sadana duka datan suka, dadya prang rame, danguning prang raden Sadana jinemparing deling wulung, raden Sadana lajeng oncat, kondur dhateng nagari Keling.
  1. Madeg ing dhatulaya, bathari Sri, ingadhep prabu Darmasara, tuwin prameswari Dewi Darmawati, dalah putra Dewi Darmarini. Bathari Sri ngandika mring prabu Darmasara, bilih retna Darmarini pinundhut putra, sang nata dalah garwa suka jumurung, kasaru sowanipun resi Nagatatmala, tuwin lurah Semar, Nalagareng, Petruk, matur sasolah reh dinuta, bilih dados pancakara kaliyan raden Sadana. Samangke raden Sadana oncat maring nagari Keling. Sampuning telas aturira, resi Nagatatmala lajeng dhinaupaken kaliyan Dewi Darmarini, pondhongan.
  1. Madeg bathari Sri, ingadhep prabu Darmasara dalah garwa putra, sang bathari Sri dhawuh arsa kondur maring Wiratha. Sang nata tuwin garwa putra, sami andherekaken tindakira, bidhal, resi Nagatatmala karsa sowan mampir maring nagari Astina.
  1. Madeg ing Suralaya, sang hyang Narada, lenggah tuwin sang hyang Bayu, ingadhep para jawata. Ginem : sang hyang Narada miyarsa warta, bilih resi Nagatatmala maring Wiratha, sang hyang Narada tuwin sang hyang Bayu arsa tindak maring nagari Wiratha, mundhut wangsulipun resi Nagatatmala maring kahyangan, bidhal maring ngarcapada.
  1. Madeg ing nagari Astina, prabu Kresnaipayana, miyos ingadhep patih Jayaprayitna, tuwin para punggawa pepak kang anangkil. Kasaru sowanipun resi Nagatatmala, matur sasolahira dinuta, purwa madya wasana, sarta samangke bathari Sri tuwin prabu Darmasara, dalah garwa putra, sampun samya kondur maring Wiratha. Sasampuning telas aturipun resi Nagatatmala, sang prabu karsa tindak maring Wiratha, kadherekaken resi Nagatatmala, tuwin Semar, Nalagareng, Petruk. Patih Jayaprayitna kinen tengga praja, lajeng bidhal.
  1. Madeg ing nagari Wiratha, prabu Matswapati miyos ingadhep kang putra raden arya Seta, raden Wratsangka, tuwin patih Jayanirbita, patih Wijayanirbita. Ginem : Sang nata andangu mring putra denira dinuta maring Astina. Kang putra raden arya Seta matur : “Kakang prabu Krenadipayana sampun sagah”. Kasaru rawuhira bathari Sri, tuwin prabu Darmasara dalah garwa, kanthi ambekta putra panganten, bathari Sri dalah panganten ingaturan lumebet ing dalem, prabu Matswapati lajeng mangg’ihi sang hyang Narada, sang hyang Bayu, tuwin kang putra prabu Kresnadipayana. Lagya eca denira imbal wacana, kasaru sowanipun patih Jayanirbita, atur uninga, bilih ing jawi wonten parangmuka adhatengi saking praja Guwarejeng, prabu Suryakumala, tuwin prabu Sasradewa, sawadya balanira. Sang prabu Matswapati sasmita mring kang rayi prabu Kresnadipayana, lajeng samya medal ing jawi, sareng dumugi ing alun-alun sampun panggih ayun-ayunan, prabu Kresnadipayana prang tandhing kaliyan prabu Suryakumala, prang rame, danguning prang, prabu Suryakumala jinemparing pejah. Kang rayi prabu Sasradewa mangsah, jinemparing pejah. Patih Baudhendha sareng uninga gustinira kakalih sami seda, patih bramantya, lajeng mangsah, pinapag dening sang hyang Bayu. Patih Baudhendha pejah, sawadyanira ditya tumpes sadaya, tan mangga puliha, sampak kang unggul ing yuda lajeng sami mundur, arsa wangsul maring pasewakan.
    Madeg ing nagari Wiratha, sang prabu Matswapati, lenggah tuwin sang Hyang Narada. Ginem : Sang hyang Narada mundhut resi Nagatatmala, arsa binekta maring Suralaya, sang prabu ngaturaken, kasaru rawuhira para nata kang samya kondur saking ing ngayuda, lajeng pinethuk prabu Matswapati, samya kinanthi, binekta lenggah satata. Sasampuning imbal wacana, sang Hyang Narada, tuwin sang Hyang Bayu amit maring kahyangan, resi Nagatatmala dalah garwanira sami andherekaken sang Hyang Narada.
    Sapengkerira sang hyang Narada, para nata sami mangun bojana andrawina, tanceb kayon.
  1. LAMPAHAN PURWAKALA (MURWAKALA) 
  1. Jejer bathara Guru, kaadhep Dewi Uma, hyang Narada. Dereng ngantos ginem, kasaru sowanipun bathara Kala, amargi paringipun tedha ingkang rumiyin, lobanglojo, boten eca katedha, hyang Guru lajeng maringi tedha, kadosta :
    a. Ontang-anting, inggih punika lare jaler ingkang boten gadhah sadherek,
    b. Untang-unting, inggih punika lare estri ingkang boten gadhah sadherek.
    c. Lumunting, inggih punika lare ingkang lahiripun tanpa ari-ari,
    d. Sarimpi, inggih punika sadherek sakawan sami estri,
    e. Saramba, inggih punika sadherek sakawan sami jaler,
    f. Pandhawa, inggih punika sadherek gangsal sami jaler.
    g. Pandhawi, inggih punika sadherek gangsal sami estri,
    h. Pandhawa madhangake, inggih punika sadherek gangsal, jaler 4 estri 1.
    i. Pandhawa ipil-ipil,inggih punika sadherek gangsal,estri 4 jaler 1.
    j. Uger-uger, inggih punika sadherek kalih sami jaler.
    k. Kembang sepasang, inggih punika sadherek kalih sami estri.
    l. Gedhana-gedhini,. inggih punika sadherek kalih jaler estri (sepuh ingkang jaler).
    m. Gedhini-gedhana, inggih punika sadherek kalih estri jaler (sepuh ingkang estri).
    n. Sendhang angapit pancura, inggih punika sadherek 3, estri 2, jaler 1, (jaler panengah).
    o. Kajawi ingkang kasebut ing nginggil, sang hyang Guru ugi maringaken tedha malih dhateng sang hyang Kala, nanging boten mawi karuwat, kadosta :
    1.Jisim lalampah, inggih punika tiyang satunggal lumampah kekesahan,
    2. Bathang ucap-ucap, inggih punika tiyang kakalih lumampah tebih.
    3. Gotong mayit, inggih punika tiyang tiga lumampah tebih.
    4. Tiyang lumampah ing wanci tengange, boten manjang boten ngidung.
Dewi Uma ugi maringi tedha, ingkang kaparingaken tiyang ingkang tiwas angrisakaken dandananing wadon, kadosta :
  1. Tiyang ngrebahaken dandang.
  2. Tiyang nugelaken gandhik.
  3. Tiyang mecahaken pipisan.
  4. Tiyang darnel griya saweg kaadegaken dereng rampung.
Tegesipun dereng kenging dipun enggeni, lajeng ambruk.
  1. Bathara Kala lajeng pamit mundur, sapengkeripun bathara Kala, lajeng ginem, sarehning kekathahen ingkang kaparingaken dados tedhanipun bathara Kala, kagalih mesakaken sadaya titah, mila sang hyang Guru lajeng dhawuh dhateng Narada, supados andhawuhna dhateng sang hyang Wisnu, kadhawuhan lampah andhalang, kangge anjabel ingkang sampun dados dhawuhipun dhumateng bathara Kala. Bathara Brama dadosa panggender, Narada dadosa panjakipun, bathara Wisnu ingkang dados dhalang. Hyang Narada mundur, sapengkeripun hyang Narada, sang hyang Guru kaliyan Dewi Uma lajeng nitih lembu Andini anganglang jagad.
  1. Gentos kacariyos, hyang Kala kaliyan kang garwa bathari Durga, tuwin bala, Ginem badhe dhateng sendhang talaga Madirda, perlu ngupados tedha, lajeng mangkat.
  1. Madeg ing Utaralayu, Hyang Wisnu, Hyang Brama, kasaru dhatengipun Hyang Narada, andhawuhaken dhawuhipun hyang Guru dhateng Hyang Wisnu, supados anjabela ingkang sampun kadhawuhaken dhateng hyang Kala, sarananipun hyang Wisnu dadosa dhalang, Brama dadosa panggender, Narada dadosa panjak, aturipun sandika, lajeng sami bidhal, anjujug dhukuh Dhadhapan.
  1. Gentos kacariyos, Hyang Kala anggenipun dhateng talaga Madirda kapethuk sang Hyang Guru, kadangu matur ngupados tedha, lajeng kaparingan dadamel : badhajna, manawi angsal tetedhan ingkang sampun kadhawuhaken, kapaesana ing badhama, manawi mboten kapaesan ing badhama, badhe kajawekaken yoga dewa, utawi manawi wonten tiyang sumerep dhateng saranduning badanipun, punika kadhawuhan angaken bapa. Bathara Kala matur sandika, lajeng sewang-sewangan.
  1. Kacariyos ing dhukuh Mendhangkawit, mbok randha Sumawit, kaliyan anakipun nama Jaka Jatusmati, sarehning Jaka Jatusmati wau ontang:anting, miia kapurih adus dhateng Talaga Madirda, supados icala mala sukeripun, lajeng bidhal.
  1. Madeg ing talaga Madirda, hyang Kala wonten salebetipun sendhang, Jaka Jatusmati dhateng, dipun takeni dhateng bathara Kala, wangsulanipun badhe adus, lajeng kapurih malebet wetengipun bathara Kala, Jaka Jatusmati mboten purun, sarta lajeng kesah, kabujung dening Hyang Kala. Jatusmati malebet ing bumbung, bumbung kacepeng Hyang Kala, Jaka Jatusmati ical, andhelik dhateng panggenanipuri tiyang dandos-dandos griya. Jatusmati lajeng mendha-mendha tiyang dandos-dandos griya, kasumerepan bathara Kala, kabujung malih, Jatusmati mlajeng griya ambruk, Jatusmati andhelik dhateng panggenanipun tiyang mipis jampi, bathara Kala sumerep, lajeng kabujung. Jatusmati mlajeng, pipisan pecah, gandhik tugel. Jaka Jatusmati andhelik dhateng panggenanipun tiyang adang, ugi kabujung dening Hyang Kala, dandang ambruk. Jatusmati lumajeng, Hyang Kala ambujung malih, kasrimpet ing wit Waluh dhawah. Pambujungipun dhateng Jatusmati kakilapan. Sigeg genti kacariyos, wonten tiyang estri panganten enggal, ngajeng-ajeng semahipun, Jatusmati dhateng ing ngriku, lajeng nunggil tiyang estri panganten enggal wau. Hyang Kala sumerep, lajeng dhawuh dhateng Bajobarat, supados nenggani wonten panggenanipun panganten enggal wau.
  1. Madeg ing dhukuh Mendhangkamulan, kyai buyut Wangkeng, kaliyan anak estri, lan anak mantu nama buyut Geduwal, inggih punika bojonipun anak estri wau. Ingkang estri nedha dhateng bapa supados dipun pegataken, nanging bapa boten suka, sarta lajeng kaserep-serepaken, inggih lajeng narimah boten saestu nedha kapegataken, nanging nedha panggil supados katanggapaken ringgit (wayang). Bapa mituruti, mantu kakengken ngundang dhalang.
  1. Madeg ing dhukuh Dhadhapan, ingkang wonten ing ngriku :
  2. Dhalang Kandhabuwana, 2. estri, panggender nama Surani, 3. Jaler warni awon, nama panjak dhalang Klungkungan, 4. mBok randha Dhadhapan. mBok randha dipun takeni kyai dhalang Kandhabuwana, dene boten dhateng peken, wangsulanipun sampun tuwuk. Nyai randha lajeng kasantunan nama nyai randha Asemsore. Anak putu yen moyoki jangan. asem lare encok. Kasaru dhatenge buyut Geduwal, angaturi kyai dhalang Kandhabuwana dhateng griyanipun marasepuh, katanggap. Kyai dhalang anyagahi, kothak sapirantosipun kabekta rumiyin, lajeng sami bidhal.
  1. Madeg ing dhukuh Mendhangkamulan, ki buyut lan anakipun estri. Ing sapengkeripun mantu ngupados dhalang, ing padhukuhan ngriku dipun ambah buron wana. Sagedipun waluya, anakipun karuwata. Boten dangu dhatengipun anak mantu, ambekta kothak wayang sapirantosipun, katungka dhatengipun kyai dhalang Kandhabuwana. Kyai dhalang lajeng kapasrahan angruwat anakipun estri, kangge sarana nyirnakaken buron wana ingkang ngambah ing padhukuhan, kyai dhalang sagah, ki buyut dipun purih marnekaken sajen-sajen, inggih. sampun dipun wonteni sadaya. Ki buyut nedha lilah manggen wonten salebetipun kelir. Sarampungipun panata, kyai dhalang Kandhabuwana wiwit andhalang Lampahanipun Manikmaya. Tiyang ningali jaler-estri, sepuh – anem, kathah, kados dipun welingaken. Jaka Jatusmati mireng lajeng ningali, sarta tumut nabuh kethuk, ing satengahipun ringgitan. Sanes dhusun wonten tiyang alok pandung, cacahing pandung sekawan, palajengipun pandung, ingkang kalih terus, ingkang kalih dhateng panggenan ringgitan, sarta lajeng sami tumut nabuh. Ingkang satunggal nabuh kenong, satunggalipun nabuh kecer. Hyang Kala ugi mireng yen ing ngriku ringgitan, lajeng aningali, anjujug ing palataran sendhen wit cikal sarwi ngantuk, sarta cangkemipun menga. Kyai Kandhabuwana uninga, hyang Kala dipun sawat ing tigan, kenging telakipun lajeng tangi, saha lajeng aningali ringgit, rame-ramening babanyolan, hyang Kala gumujeng, tiyang ingkang ningali lajeng bibar. Bathara Kala pitaken dhateng dhalang Kandhabuwana, sababipun punapa teka lajeng bibar. Wangsulanipun kyai dhalang Kandhabuwana, amargi sami sumerep sang Hyang Kala. Hyang Kala nedha murih lekas ringgitan malih. Kyai dhalang inggih kadugi, manawi mawi sarana satak sawe dinar. Hyang Kala kadugi nyukani sarana, namung kapiliha prabotipun ingkang dipun engge kemawon, awit boten ambekta dinar, Kyai dhalang lajeng milih bedhama, hyang Kala inggih nyukakaken, nanging nedha prajangji : Aja legi dadi pahit. Wangsulanipun kyai dhalang, ora watak, lajeng wiwit andhalang malih.
  1. Sawatawis dangunipun, Hyang Kala pamitan ngisis. Dumuginipun ing njawi, Hyang Kala mambet gandaning bayi lahir, inggih punika bayi anakipun panganten enggal wau, lajeng kapendhet sarta badhe kauntal, nanging lajeng kengetan, manawi bedhamanipun wonten kyai dhalang, mila enggal wangsul dhateng ing palataran, nalika punika Jaka Jatusmati pamit dhateng kyai panjak, badhe mantuk dhateng griyanipun, kalilan, dumugi palataran dipun cathok bathara Kala. Bathara Kala enggal manggihi kyai dhalang, pikantukipun bayi tuwin Jaka Jatusmati wau kalintokaken bedhama. Kyai dhalang Kandhabuwana inggih suka, lajeng sami lintonan.
  1. Hyang Kala nedha rucatipun kelir, saha ngaken menang sepuh tinimbang kyai dhalang, kyai dhalang amangsuli : Bilih kyai dhalang ingkang sepuh tinimbang Hyang Kala, sarta Hyang Kala punapa purun dipun wastani sadaya saranduning badanipun. Hyang Kala inggih purun, kyai dhalang Kandhabuwana lajeng nandukaken sampurnaning puja, dhalang lajeng ngucapaken : Hong, prayoganira sang hyang Akasa lawan Pratiwi, mijil yoganira sang hyang Agilang-gilang ing siti, binuwang aneng samodra, kumambang lembak-lembak. ana daging dudu daging, ana getih dudu getih, aranmu sang Kama salah, akiri sakilomaya, kadya manik amesthika, gya murub angarab-arab, nekakaken prabawa, ketug lindhu lan prahara, lesus hanggung aliweran, geter pater tan pantara, murub ingkang kaladora, gumesang aneng triloka, nguni weh kang padmacakra, nguni weh bathara Guru, Awigena purnama siddi, hong namu namas swah hah.
Dhalang anglajengaken ngucap santi purwa : Hong dinuk aku purwanira ring pustaka, ginutuk ing padmacakra, ingkang minangka sirahmu, ginutuk ing kurameyan, ya ta kang dadi rambutmu, ginutuk sirengpanelan, ya ta minangka bathukmu, ginutuk ing rengas wastra, ya ta kang dadi alismu, ginutuk ing suryakantha, ya ta kang dadi netramu, ginutuk sireng kilatnya, ya ta kang dadi kedhepmu, ginutuk sireng mani, ya ta kang dadi kupingmu, ginutuk sireng momaka, ya ta kang dadi pipimu, ginutuk sireng panayan, ya ta minangka pasumu, ginutuk ing rindhung wastra, ya ta minangka irungmu, ginutuk ing langkap wastra, ya ta kang dadi tutukmu, ginutuk ing rejek wastra, ya ta kang dadi untumu, ginutuk ing waja lidhah, ya ta kang dadi ilatmu, ginutuk sireng panawan, ya ta minangka telakmu, ginutuk ing waja sumeh, ya ta minangka janggutmu, ginutuk sidhang panawan, ya ta minangka uwangmu, ginutuk ing wesi panggak, ya ta kang dadi gulumu, ginutuk wesi gulam, ya ta kang dadi baumu, ginutuk sireng candrasa, yata minangka tanganmu, ginutuk ing palempengan, ya ta minangka salangmu, ginutuk ngambil wastra, ya ta minangka dhadhamu, ginutuk sarwa sanjata, ya ta kang dadi igamu, ginutuk sireng padupan, ya ta minangka atimu, ginutuk sireng geni-tri, ya ta kang dadi amperumu, ginutuk ing sandiwiddi, ya ta kang dadi jantungmu, ginutuk sagara ampenan, ya ta minangka wetengmu, ginutuk sireng lukita, ya ta minangka ususmu, ginutuk ing rancang wastra, ya ta minangka ototmu, ginutuk ing wajasari, ya ta minangka balungmu, ginutuk pancuran racah, ya ta minangka dakarmu, ginutuk ing baka wastra, ya ta minangka wangkongmu, ginutuk sireng deksana, ya ta kang dadi pupumu, ginutuk ing bindi wastra, ya ta minangka garesmu, ginutuk ing waja niwal, ya ta kang dadi sikilmu, ginutuk ing gora wastra, ya ta kang minangka gedhemu,- ginutuk ing krama krama wastra, ya ta minangka nepsumu, kumejod molah anibegan, angadeg kagiri-giri, awakmu wegah uger asalit ajatha gimbal, angerik anguwuh-uwuh, sira mulat amangetan, sakehing para jawatan kagegeran, dening sira, awedi andeleng rupamu, aranmu si kama salah, Awignam astuna purnama siddi. Hong namu namas swah hah.
Dhalang anglajengaken ngucap aksara bathuk :
Caraka balik : Nga, tha, ba, ga, ma, nya, ya, ja, dha, pa, la, wa, sa, ta, da, ka, ra, ca, na, ha.
Lajeng aksara telak : Sang Kala lumerang sangkaning lara, Wisnu kena ing lara, lungguh ing otot lan ing amperu, kang alara mulya, mulya dening bathara Brama. Brama kena ing lara, lungguh ing Guru kena ing lara, lungguh ing tutuk, gurune lumumah lan saranduning awak, kang lara mulya, mulya dening sang hyang Wenang. Sang hyang Wenang tan kena ing lara, marang sang hyang Wenang kumpul panunggaling rasa, rasa tunggal lan jati, jati tunggal lan rasa, rasa jati mulya, mulya saking ingkang wasesa.
Dhalang lajeng ngucapaken sastra ing dhadha, sastra bedhati :
Hong ilaheng sawedana, Durga Kala sawedana, kreti ndaru tumuruna nur ring madya, aworing dewata muja, aji sang hata hati, hama raja ta ajiku, hama raja ta wuwusku, hama raja jara maya, amarani rimu maya, asi raya para siya, amidosa sadomiya, amidara rodamiya, ya midosa sadomiya, ya siya ya palasiya, ya sira para asiya, ya siya papara siya, lawagna lawagni, sikuthara sikuthari, sibrenggala sibrenggali, si-bitapa sibitapi, sibintaka sibintaki, sidurbala sidurbali, sirumaya sirumayi, sihudaya sihudayi, sisrimaya gedhah maya, sidayudi sidayiida, adiyuda adiyuda, adayudi nihudaya, hong namu namas swah hah.
Dhalang lajeng ngucapaken sastra gigir : Hong yogyanira sang Hyang Pratiwi mijil kamulan, bathari Uma mijil saking limu-limu, ingusap sariranira, mijila sang Hyang Kusika, mijila bathara Gagra, saking balung kamulanya, ana ta sang Hyang Kurusa, saking daging kamulanya, ana kang bathara Metriya, saking otot kamulanya, mijil sang Hyang Pritanjala, saking sungsum mulanira, kinen agawe lekaha, kusika milu alumeh, tinut denira sang Gagra, Hyang Gagra milu alumeh, tinut dening sang Hyang Kurusa, Kurusa milu alumeh, tinut dening hyang Metri, sang Hyang Metri milu alumeh, teher mijila wikalpa, neher ing ipat-ipatan, Kusika mesat mangetan, katemah andadi emong, Hyang Gagra mesat mangidul, atemah andadi sarpa, Kurusa mesat mangulon, atemah andadi buta, Hyang Metri mesat mangalor, atemah andadi dhengen, kuneng sang Hyang Pritanjala, ingkang kinen gawe loka, angenjali ring bathara, kang riwe arereweyan, dinilat arasa asin, atemah andadi uyah.
Kuneng bathara Uma, sinasayeng jagad nata, atemah papacintraka, cinandhak suku sinungsang, anjerit angrik anguwuh, asalit ajatha gimbal, nguni weh bathari Durga, Hong namu namas swah hah.
Sasampuning rampung, kacariyos bathara Kala lajeng ambapa dhateng kyai dhalang Kandhabuwana, sarta matur ingkang kapundhut punapa. Kyai dhalang Kandhabuwana mangsuli, ingkang kapundhut paringipun tedha sang hyang Guru sadaya, sarta bathara Kala katundhung sagarwa balanipun saking dhukuh Mendhangkamulan.
Kala matur sandika. Nanging panundhungipun nyuwun mawi santi Kukus, kyai dhalang Kandhabuwana nyagahi. Ingkang andhalang lajeng ngucapaken santi Kukus : Hong, purwa yanti yogya yanti, kaget Hyang Mandhalagiri, sinurak para jawata, amijilaken kasekten, ana banyu teka wetan, aputih mili mangulon, ngileni bathari Sri, guru warda wardi dadi. Hong, purwa yanti yogya yanti, kaget hyang Mandhalagiri, sinurak para jawata, amijilaken kasekten, ana banyu teka kidul, abang mili mangalor, ngileni bathari Sri, guru warda wardi dadi. Hong purwa yanti yogya yanti, kaget Hyang Mandhalagiri, sinurak para jawata, mijilaken kasekten, ana banyu teka kulon, kuning amili mangetan, ngileni bathari Sri, guru warda wardi dadi, Hong purwa yanti yogya yanti, kaget Hyang Mandhalagiri, sinurak para jawata, mijilaken kasekten, ana banyu teka elor, ireng amili mangidul, ngileni bathari Sri, guru warda wardi dadi. Awignam mastuna purnama siddi. Hong namunaswah hah.
Kyai dhalang lajeng ngucapaken Balasrewu : Hong ilaheng minangka ranku, ya sang Gandhusekti, ya sang ila-ila, santi guna ila warna, sang hyang hayu palungguhku, sang hyang toya pangadegku, nagaraja ing dhadhaku, naga milet ing guluku, gelap ngampar suwaraku, iduku tawa ing sakalir, netraku sang surya kembar, kilat mbarung ing cahyaku, durga durgi ngiring aku, sang Kala rumekseng aku, buta kabeh ring omahku, kaomahan dhengen kabeh, kang sun deleng padha lengleng, kang ndak pandeng teka bengeng. Hong namu namas swah hah.
Dhalang lajeng ngucapaken Banyak-dhalang : Hong resang tabe, sun angidung, kidungku si banyak-dhalang, ngendi enggonira alinggih, rajasa, kumitir, amerteng sinapragnyana, agupita narawangsa, gendere pinatut barang, hulung kenyar ing prasada, sira kaki atangiya, angadeka wringin sungsang, ameranga ampel gadhing, tugelen gawenen sanggar, sanggar-sanggar pangruwatan, pangruwatan ujar ala, pangruwatan sara supata, supataning sanak tuwa, angruwata supataning maratuwa, angruwata supataning wong ngatuwa, angruwata sagunging mala cintraka, angruwata lalara roga, rara gung rara wigena, gelah talutuh ilangna, katuta ing barat lesus, katuta ing lesus agung, lebur ajur musna ilang, ilang saking tan ana. Hong namu namaswah hah. Hong latak rowang maring sendhang, sendhang-sendhang samandhala, mandhalane wong mengari, anake ki Ulungkembang, kudu osik bisa ngaji, dhukuhe ki empu ana bale anyar tanpa galar, ana ta kang sumur bandhung, timbane timba kapala, tatali ususing maling, siwur burut tanpa kancing, garane winadu aji, sulur kamudhi waringin, banyune ludira muncar, iline mili mangetan, ala elo, katuta ing banyu mele, lebur ajur musna ilang. Hong lata rowang, ana jaka amek kembang, amemenek anguthapel, den gebagi jejomponge, anon siparawan liwat, dinulu rupane ayu, parawanan ngaku rara, lah tan mara sing rarawan, anononton kintel muni, ting caremplang ting caremplung, hanggero kang kodhok niyo, tingkahe arangkal-rangkal, sedyane arep nauta, anauta roroga, lara gung lara wigena, tatangga yen angrungokna, wong angidung Banyak-dhalang, saben dina tanpa dadar, yen ana parawan tuwa, utawa jajaka tuwa, dumadakan gelis krama, yen ana wong gring kadadak, dumadakan gelis mulya, yen ana kang sedya ala, teka mundur tanpa krana, sampurna ing Banyak-dhalang, kang ngidung temah sampurna.
Hong lata rowang, mring bangawan, anontona larung keli, larunge si Banyak-dhalang, loro sanake den larung, ing benjang jaja murdipa, akutha ing kurayana, ana manuk cucuk waja, anucuka larung keli, iberna gawanen lunga, awigna astuna purnamasiddi. Hong namu namas swah hah.
Sasampuning rampung sampurnaning puja sapanunggilanipun wau, Hyang Kala nedha adus, kyai dhalang inggih anuruti, sarta ingkang andhalang wau lajeng ambedhol dhalang Kandhabuwana kaliyan bathara Kala saking gadebog, cempuritipun kacemplungaken ing pangaron enggal, ingkang sampun kasudhiyakaken isi sekar sataman sapirantosipun. Ingkang andhalang lajeng ngucapaken japa padusaning Kala : Tunjung adus ing banyuning banyumili tlaga manik, Uma kang ngedusi, Durga kang ngosoki, Wisnu kang ngentas. Lajeng winisik ing japa : Kala den eling sira, sira muliha ing jatisorangan, asalira teka ora, sira muliha marang ora, asalira teka ing jati, iya muliha maring jati, ingsun sajatine wisesa.
Lajeng dipun kudang : Hong, anake ki Kurameyan, agedhe aseseg dhepah, mBangbang bus pasthi kamaya, ana maya-maya katon, kang anonton milu katon, kang tinonton ora katon, byang-byang byos, golong-golong gumelompong, gulung-gulung gumalumpung.
Hong namu namas swah hah.
Bathara Kala lajeng kesah, sagarwa balanipun, kaliyan sami nedha sangu sadaya, Wangsulanipun kyai dhalang Kandhabuwana : Iya padha anjupuka. Lajeng sami mendheti, (ingkang dipun pendheti sajen), lajeng kesah.
Kyai dhalang Kandhabuwana lajeng nandukaken japa Kumbalageni : Buk-buk maga rubuk, gerobyog padha rusah, suwung sepi sumleng balaning Kala.
Lajeng Dewi Sri Sadana dhateng, kapanggih kaliyan dhalang Kandhabuwana, pamit mantuk, sarta nyuwun sajen ingkang dados waijibipun, dhalang Kandhabuwana pareng, lajeng kapendhetan, sarta lajeng mantuk, kyai dhalang Kandhabuwana lajeng dhawuh dhateng panjak dhalang Klungkungan, Jaka Jatusmati supados dipun guyang. Lajeng kaguyang kaliyan dipun mantrani padusan Jatusmati, : Bogenira sira prasini, jiwanggana patrayana, prakasiwah prakasipa, boga-boga wali purna, Hong bestu waluya, waluya temah anjati, jati temahan waluya, Hong bestu waluya.
Ing sarampungipun, Jaka Jatusmati lajeng pamit mantuk, kalilan, saha lajeng mangkat, lajeng wonten nyai randha dhateng, nyuwun mantukipun bayi ingkang dhawah sampir (bayi lahir wonten salebetipun tangga nuju ringgitan) dhalang Kandhabuwana marengaken, lajeng kabekta mantuk. Pandung ingkang tumut nabuh kenong kecer sami nyuwun pamit mantuk, sarta ngaturaken prasetya, anak putunipun manawi ngantos purun ngawoni dhateng kyai dhalang mugi saturunipun sampun ngantos manggih panjang umuripun, sampun kalilan lajeng mantuk. Saantukipun pandung, buyut Wangkeng kengkenan tiyang estri, nerangaken dhateng kyai dhalang Kandhabuwana, kados pundi tindakipun rara Pripen, inggih punika anakipun estri ingkang nedha ringgitan wau.
Wangsulanipun dhalang Kandhabuwana : Aku mengko adus, sarampunge adus, kembang sataman dianggoa adus rara Pripen, iku sirna mala sukertane. Dhalang Kandhabuwana, panjak lajeng sami adus, sarta mawi japa padusan dhalang lan panjak.
Driyakdasa gunem, gramina satardi nayem, ping sapta muni dewa yu. Hong bestu waluya, waluya temah anjati, jati temahan waluya, Hong bestu waluya.
Lajeng matak aji weling. Sarampungipun, boten dangu dhatengipun Sapujagad, ingkang ngresiki balane Kala kabeh, pasangone poleng sakayuh, pantun kalih gedheng, cikal kalih, badheg sagoci, sekul wuduk ulam lembaran, sampun resik, namung kantun bala satunggal, angentosi jenang baro-baro. Sapujagad lajeng mantuk, dhalang Kandhabuwana lajeng sumbar-sumbar : Aku dhalang Kandhabuwana, angadeg pusering jagad, aningali memelok ing kalangan, tanggal pisan patbelase murub tan kenaning pati, mancur tan kena surem, aku
dhalang Jatiwasesa, ora wenang diwasesa, iya aku kang wenang misesa sakalir. Dupi kapyarsa sumbare kyai dhalang Kandhabuwana, ambaledug balanipun Kala. Tanceb kayon.
Ingkang andhalang lajeng ngucap, “Awignam astu namas sidhem, lungguhku pakuning bumi, talapakane sanggabuwana, gadebog Hyang Nagaraja, kelirku sang Tinjomayu, widadari kang anggameli, widadara kang anonton, kang anonton padha katon, kang tinonton ora katon, hong mastu namas sidhem”. @@@

Tidak ada komentar:

Posting Komentar